Jumat, 06 April 2018

Guratan Sejarah di Banda Neira
Primadona Pulau Banda Benteng Belgica.
Sebagai daerah tujuan wisata yang dikenal memiliki panorama bawah laut yang menakjubkan, Kepulauan Banda tak lagi asing bagi para penggemar wisata bahari, terutama mereka yang memiliki hobi menyelam dan snorkling. Keindahan taman laut beserta keanekaragaman biota lautnya merupakan daya tarik utama. Ada sekitar 52 titik penyelaman yang menawarkan atraksi pemandangan flora-fauna menawan dengan koleksi 400 species biota lautnya yang tak pernah ada di pojok dunia mana pun. 
Namun, kepulauan yang sarat dengan kisah heroik ini, tak hanya memiliki obyek wisata bawah laut. Berbagai lokasi wisata darat di gugusan pulau yang ada juga tak kalah memukau. Sejumlah bangunan tua maupun benteng sisa peninggalan masa penjajahan Portugis dan Belanda masih terawat dengan baik. Terutama yang berada di pulau utamanya yakni Pulau Banda Neira. 
Menyusuri jalanan di Banda Neira seolah membawa kita kembali ke awal tahun 1900-an. Sudut-sudut kota yang sepi, jalanan sempit dengan lebar hanya 4 meter serta bangunan-bangunan tua yang masih kokoh dan terawat kondisi aslinya merefleksikan kehidupan yang sama ratusan tahun lalu. Teduhnya pepohonan kenari berumur ratusan tahun menambah nuansa asri dan tenang.
Rumah Pengasingan Bung Hatta.
Salah satu bangunan tua yang menyimpan jejak sejarah perjuangan bangsa adalah Rumah Pengasingan Bung Hatta. Di sana terekam jejak perjalanan Bung Hatta selama diasingkan pada kurun 1936–1942. Dari tempat tidur, jas, mesin tik, kursi goyang hingga foto-foto keluarga. Juga bangku-bangku sekolah yang digunakan untuk mengajar anak-anak Banda. Kondisi serupa juga ditemui di Rumah Pengasingan Sutan Sjahrir dan Dokter Cipto Mangunkusumo. Sejumlah barang peninggalan mereka serta bangunan rumah masih terawat dengan baik dengan mempertahankan bentuk dan arsitektur aslinya. 
Sedangkan berbagai benda bersejarah kuno seperti meriam, pistol, senapan, pedang, helm, perisai, uang perak, kunci, gramofon, foto-foto dan lainnya tersimpan rapi di Rumah Budaya yang dulu merupakan vila milik salah seorang petinggi Belanda. Di sana juga terdapat beberapa lukisan yang menggambarkan diorama perjalanan Banda dan lukisan diri Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC (Serikat Dagang Hindia-Timur). 
Istana Mini atau bekas kediaman resmi gubernur jenderal VOC.
Situs-situs bersejarah lainnya adalah rumah bekas kediaman resmi gubernur jenderal VOC atau Istana Mini. Di gedung besar ini terdapat sejumlah guratan sejarah di antaranya lubang bekas tembakan meriam di tembok serta surat seorang opsir Perancis sebelum gantung diri karena merasa tidak ada harapan untuk kembali ke tanah airnya.
Gereja Tua yang dibangun tahun 1680 juga menyimpan kisah mengharukan. Bangunan ini dipugar pada tahun 1852 setelah mengalami kerusakan akibat letusan Gunung Api. Di atas lantai ruang misa yang terbuat dari batu granit terpahat nama-nama pejabat dan perkenier (juragan kebun pala) Banda yang dikubur di bawahnya. 
Ruang misa Gereja Tua.
Ada juga Monumen Parigi Rante yang menjadi saksi bisu kebiadaban Belanda. Di sanalah, 8 Mei 1621, seregu samurai Jepang didatangkan Jan Pieterszoon Coen untuk menyembelih 40 orang pemuka masyarakat Banda yang menolak monopoli niaga pala yang diberlakukan Belanda. Di dinding belakang perigi tertulis sederet nama tokoh dari berbagai penjuru Nusantara yang dibuang ke pulau itu sejak abad ke-19. 
Bangunan sejarah yang menjadi primadona Banda Neira adalah Benteng Belgica. Benteng yang menjulang hitam di atas bukit ini terletak di sebelah barat Pulau Neira. Dibangun oleh Gubernur Jenderal Banda pertama, Pieter Both, pada 4 September 1611, untuk menghadapi pemberontakan masyarakat Banda. Dengan luas 3.600 meter persegi dan dikelilingi tembok sepanjang 385 meter, Belgica menjadi salah satu benteng terindah abad ke-17. Di petak atapnya yang berumur 400 tahun, kita akan tertegun memandang sang surya tenggelam di ufuk barat Banda.
Seperti masa lalunya, serpihan surga di timur Indonesia itu kini semakin ramai didatangi turis, terutama dari Eropa, untuk melihat langsung sisa-sisa peninggalan kolonial, keindahan alam dan atraksi panorama bawah laut yang sanggup "menghipnotis" mata dan batin wisatawan.

Benteng Nassau adalah benteng Belanda pertama di Neira.

Panduan wisata ke Banda Neira

Transportasi udara: Ambon, ibu kota Provinsi Maluku merupakan gerbang menuju Banda Neira, sebelum melanjutkan dengan modatransportasi lain. Ada banyak maskapai yang melayani penerbangan ke Ambon seperti Garuda Indonesia, Citilink, Batik Air, Lion Air, dan Sriwijaya Air dengan jarak tempuh penerbangan langsung sekitar tiga jam. Rata-rata penerbangan melakukan transit di Makassar, Sulawesi Selatan.

Penyeberangan menuju Banda Neira: Untuk menuju Banda Neira dari Ambon ada tiga alternatif moda transportasiPertama yang paling mudah adalah menumpang kapal cepat Express Bahari dari Pelabuhan Tulehu yang berjarak satu jam berkendara dari pusat Kota Ambon. Jadwal kapal cepat Express Bahari dari Pelabuhan Tulehu menuju Banda Neira adalah Selasa dan Sabtu pukul 09.00 WIT. Sedangkan dari Banda Neira menuju Pelabuhan Tulehu adalah Rabu dan Minggu pukul 09.00 WIT. Perjalanan ditempuh dalam 6-7 jam. Harga tiket kelas biasa Rp410.000 dan VIP Rp650.000. Tiket dapat langsung dibeli pada hari keberangkatan di loket pelabuhan. Kedua menggunakan Kapal Pelni, seperti Kapal Nggapulu atau Kapal Leuser. Jadwal keberangkatan kapal dan pemesanan tiket kapal dapat diakses di situs remi Pelni. Umumnya jadwal keberangkatan Kapal Pelni baru beredar satu bulan sebelum keberangkatan kapal. Harga kelas ekonomi dari Ambon menuju Banda Neira dengan Kapal Leuser dihargai Rp105.000 per orang dan perjalanan ditempuh dalam 10-12 jam perjalanan. Ketiga menggunakan pesawat perintis. Harga tiket pesawat sekali perjalanan dari Ambon ke Banda Neira sekitar Rp350.000. Untuk pemesanan dapat langsung menuju loket informasi maskapai Dimonim di Bandara Pattimura Ambon. Perjalanan Ambon menuju Banda Neira via udara berlangsung sekitar 45 menit.

Pelabuhan Banda Neira.
Akomodasi: Tersedia banyak pilihan hotel dan penginapan di Banda Neira. Yang paling terkenal adalah Hotel Maulana di dekat pelabuhan Neira dengan pemandangan Teluk Banda dan Gunung Api yang mengagumkan. Salah satu hotel terbaik di dunia versi Tatler’s Travel Guide yang pernah disinggahi beberapa selebriti dunia seperti Lady Diana, Mick Jagger, Sarah Ferguson dan Francis Ford Coppola. Tarif hotel tersebut berkisar Rp375.000 hingga Rp3 juta per malam. Untuk para backpacker bisa menginap di banyak guesthouse dengan tarif mulai sekitar Rp100 ribuan.

Waktu: Musim terbaik menuju Banda Neira jatuh pada Oktober dan awal November. Saat itu cuaca cerah di Kepulauan Banda dengan ombak tenang nan bersahabat. Bulan terburuk adalah Mei-Juli, saat ombak laut sedang tinggi. Kita bisa merencanakan perjalanan ke sana jauh hari sebelumnya dengan memesan tiket pesawat dan hotel sekaligus melalui beberapa situs travel daring. 


Selasa, 03 April 2018

Eksotisme Sungai Hitam 
di TN Sebangau
TN Sebangau merupakan kawasan ekosistem rawa gambut.

Pulau Kalimantan merupakan surga bagi keberadaan taman nasional karena memilki area hutan luas membentang dengan harta karun berupa keanekaragaman flora dan fauna yang tak ternilai. Ada delapan taman nasional yang tersebar di pulau terluas se-Indonesia itu yakni Betung Kerihun, Bukit Baka Bukit Raya, Danau Sentarum, Gunung Palung, Kayan Mentarang, Kutai, Tanjung Puting, dan Sebangau.

Taman nasional tertua adalah Kutai dan Tanjung Puting, keduanya dicanangkan sebagai taman nasional pada 1982. Sementara itu, yang paling baru adalah Taman Nasional (TN) Sebangau yang dicanangkan pada 2004. Taman Nasional Sebangau dan TN Tanjung Puting sama-sama terletak di Kalimantan Tengah. Namun, TN Sebangau memiliki keunikan karena merupakan kawasan ekosistem rawa gambut.

Bekas kebakaran masih tampak di beberapa titik.
Secara administratif, TN Sebangau masuk dalam tiga wilayah yakni Kota Palangkaraya, Kabupaten Katingan, dan Kabupaten Pulang Pisau. Sebelum didaulat menjadi taman nasional, Sebangau merupakan hutan produksi yang dikelola beberapa perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pembalakan liar pun merajalela usai berakhirnya izin HPH di kawasan tersebut. Namun kini, meski bekas kebakaran hutan masih jelas terlihat, taman nasional seluas 568.700 hektar itu menjadi lokasi ekowisata terutama untuk melihat langsung satwa liar.

Taman Nasional Sebangau menjadi habitat dari 808 jenis tumbuhan, 15 jenis mamalia, 182 jenis burung, dan 54 spesies ular. Jenis flora yang tumbuh di area rawa gambut ini sangat spesifik dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Di Sebangau kita bisa melihat satwa liar langsung di habitat aslinya. Beberapa satwa endemik penghuni taman nasional ini di antaranya orang utan, bekantan, beruang madu, owa-owa, burung rangkong, dan monyet ekor panjang.

Speedboat menjadi alat transportasi masyarakat sekitar TN Sebangau.
Ada tiga titik wisata yang terbagi di masing-masing kota/kabupaten. Namun yang paling mudah dijangkau adalah area Sungai Koran yang terletak dekat Kota Palangkaraya. Sungai Koran memiliki keunikan karena airnya berwarna hitam. Warna tersebut muncul dari kandungan tannin yang tinggi akibat rawa gambut di bagian dasarnya.

Sungai ini dipenuhi tumbuhan rasau, sejenis pandan yang memiliki duri di bagian daun dan batang. Kita bisa menyusuri sungai ini dalam half-day trip selama 3-4 jam. Caranya, kita bisa menyewa mobil dari Kota Palangkaraya atau Bandara Tjilik Riwut menuju Desa Kereng Bangkirai. Perjalanannya hanya butuh waktu sekitar 15-20 menit. Dari desa ini, kita bisa menyewa speedboat seharga Rp500.000—bisa diisi maksimal tiga orang dan satu/dua pemandu—yang akan mengajak kita meliuk-liuk menembus “labirin” rasau Sungai Koran.

Burung Rangkong merupakan satwa khas Pulau Kalimantan.
Berwisata di TN Sebangau kita akan menemukan lanskap dan suasana khas pedalaman Kalimantan. Tak ada polusi udara maupun kebisingan kota. Sebuah suasana sunyi yang rasanya sekarang ini mahal harganya. Tak heran, jika TN Sebangau kini menjadi “destinasi wajib” bagi para penyuka wisata alam yang berkunjung ke Palangkaraya. 

Panduan wisata ke TN Sebangau

Transportasi udara: Bandara Tjilik Riwut di Palangkaraya melayani penerbangan ke banyak kota, termasuk Jakarta dan Surabaya. Beberapa maskapai yang bisa dipilih antara lain Garuda Indonesia, Lion Air, dan Sriwijaya Air. Garuda Indonesia rute Jakarta-Palangkaraya (penerbangan langsung) beroperasi dua kali sehari, yakni pagi dan sore hari. Begitu pun sebaliknya. 
Orang utan di habitat aslinya.
Akomodasi: Berhubung TN Sebangau bisa dijangkau dalam tempo setengah hari dari Kota Palangkaraya, kita bisa memesan hotel di tengah kota dengan pilihan harga kamar berkisar Rp300.000-600.000 per malam. Namun jika ingin merasakan suasana “petualangan” di pedalaman hutan Kalimantan, kita juga bisa menginap di Pos Jaga Sungai Koran. Pos ini punya tiga kamar, satu kamar mandi, satu dapur, dan ruang tengah. Di sebelah bangunan utama terdapat gazebo besar dan menara pandang.

Waktu: Waktu terbaik menyambangi TN Sebangau adalah pada saat musim hujan (Desember–Februari) karena kita bisa menyusuri Sungai Koran menggunakan speedboat tanpa harus trekking di area gambut akibat air surut. Sedang waktu terbaik untuk melihat orang utan adalah sore hari. Mulai pukul 15.00 WIB, orang utan mengumpulkan dedaunan untuk dijadikan "kasur". Mereka tidur di lokasi berbeda setiap malam. Kita bisa merencanakan perjalanan ke sana jauh hari sebelumnya dengan memesan tiket pesawat dan hotel sekaligus melalui beberapa situs travel daring.


Senin, 15 Februari 2016

GERHANA: DARI PERTANDA BALA HINGGA PEMBAWA DEVISA
Gerhana matahari kini menjadi salah satu atraksi wisata yang digemari.
“Laju peradaban diiringi perkembangan pemikiran manusia membuat cara pandang tentang gerhana bermetamorfosa. Ia tak lagi dipandang sebagai fenomena alam pertanda petaka, tetapi justru menjadi peristiwa langka pembawa devisa. Kemunculannya yang semula ditakuti kini diburu para ilmuwan, astronom, fotografer, pelancong dan pemburu gerhana”.   
Bagi pembaca yang pernah menonton film Apocalypto besutan sutradara Mel Gibson mungkin ingat adegan ritual pengorbanan manusia yang dilakukan sekelompok suku Maya. Ketika sang tokoh utama dalam film tersebut hendak dijadikan persembahan dengan cara dihunjam dadanya dengan sebilah pisau batu, tiba-tiba saja ia dibebaskan begitu saja karena kemunculan gerhana matahari. 

Dalam mitologi peradaban kuno manusia, gerhana memang dimaknai berbeda-beda namun tetap mempunya garis persepsi yang sama yakni pertanda bala. Hal ini mungkin didasari logika bahwa matahari dan bulan adalah penyokong kehidupan bagi sang ibu bumi sekaligus menjadi dewa-dewi di atas panggung teater langit. Dan ketika terjadi ketidakharmonisan dan keganjilan—siang menjadi gelap—maka munculah anggapan dari manusia masa lalu bahwasanya sedang terjadi ‘masalah besar’ di langit.  
Bangsa China misalnya menganggap gerhana terjadi karena matahari atau bulan ditelan sang naga, sedangkan suku Indian di Amerika Tengah dan Latin percaya bahwa macan jaguar pelakunya. Lain halnya dengan bangsa Norwegia kuno yang percaya serigala adalah pemangsanya. Kebudayaan lama Nusantara sendiri menganggap—terutama beberapa etnis yang dipengaruhi budaya India—Bathara Kala atau Rahu sebagai pelahap matahari dan bulan.  
Astronom China sudah bisa memprediksi datangnya gerhana matahari.
Catatan paling awal tentang gerhana matahari bisa ditemukan dalam sejarah kuno China. Konon menurut legenda, saat itu dua orang astronom istana—Ho dan Hi—harus menerima hukuman gantung dari sang kaisar karena mabuk dan luput memprediksi datangnya gerhana. Sang kaisar begitu murka karena ia tidak bisa mempersiapkan para penabuh genderang dan pemanah untuk mengusir sang naga di langit. Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 22 Oktober 2137 Sebelum Masehi (SM). Beberapa prasasti dan naskah kuno yang ditemukan di Jawa dan Bali secara tersirat menyebut adanya gerhana bulan, namun yang secara tegas mencatat terjadinya gerhana bulan ditemukan dalam Prasasti Sucen di Temanggung, Jawa Tengah, pada tanggal 15 tahun 765 Saka atau 19 Maret 843.  
Dipicu oleh pesatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan manusia dalam 500 tahun terakhir—di antaranya dengan ditemukannya teleskop pada awal abad ke-17—pemahaman manusia terhadap gerhana matahari total pun berubah total. Ia tak lagi dipandang sebagai penanda bencana namun hanya fenomena alam biasa. Hal itu mendorong para astronom Eropa untuk berburu dan menelitinya seperti yang dilakukan oleh Johannes Kepler (1605), Edmund Halley (3 Mei 1715), Juless Jansen dan Norman Lockyer (16 Agustus 1868) serta Sir Arthur Eddington (29 Mei 1919). Hasil penelitian mereka kemudian menambah khazanah pengetahuan manusia moderen tentang semesta raya khususnya yang bersangkut-paut dengan matahari dan gerhana.    
Kemunculan gerhana matahari total yang langka dan istimewa—rata-rata hanya bisa disaksikan sekali dalam 375 tahun di titik yang sama di muka bumi—kini menjadi obyek buruan tak hanya para astronom dan ilmuwan namun juga pelancong, fotografer dan pemburu gerhana dari seluruh penjuru dunia. Mereka rela berburu—dari ujung antartika hingga ketinggian antariksa—demi menyaksikan pentas gerhana meski harus menggerus kantong terdalam.  
Menurut data Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Indonesia sendiri akan mengalami gerhana matahari total sebanyak sembilan kali selama rentang satu abad (1945–2045). Peristiwa gerhana matahari total pada 9 Maret 2016 nanti menjadi istimewa karena merupakan fenomena langka yang terjadi hanya di Indonesia. Gerhana matahari total terakhir yang melintas Indonesia di abad ke-20 terjadi 21 tahun lalu, yaitu pada 24 Oktober 1995. Durasi gerhana ini sekitar 2 menit dan melintasi Pulau Sangihe di Sulawesi Utara. Beberapa gerhana matahari total sebelumnya terjadi pada 11 Juni 1983 yang melewati Jawa dan Sulawesi. Selain itu ada juga gerhana matahari total tanggal 18 Maret 1988 yang melintasi Sumatera dan Kalimantan. Gerhana ini memiliki kemiripan jalur dengan gerhana 9 Maret 2016 mendatang. 
Jalur lintasan gerhana matahari total yang akan melewati Indonesia.
Jalur lintasan gerhana matahari total 9 Maret nanti akan membentang lebih dari 5.000 kilometer, melintasi 12 propinsi—dari Sumatera Barat hingga Maluku Utara—melewati 53 kabupaten dan kota dengan totalitas waktu antara 1,5 hingga 3 menit. Fase totalitas gerhana yang bisa diamati di setiap tempat berbeda-beda tergantung dari posisi daerah itu dalam jalur gerhana. Diperkirakan fase totalitas gerhana terlama terjadi di Maba, ibu kota Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, yaitu sekitar 3 menit  20 detik. 

Gairah dan gaung menonton gerhana matahari total pertama yang melintas wilayah Indonesia pada abad ke-21 ini pun dimanfaatkan oleh para agen perjalanan dan wisata maupun pemeritah daerah setempat untuk menjaring para turis. Kementerian pariwisata sendiri menargetkan  momen langka ini bisa menyedot 100.000 turis asing dan 5 juta turis domestik yang akan datang baik melalui penerbangan umum maupun kapal pesiar. Dan jika dikalkulasi rata-rata satu turis asing membelanjakan 1.000 dollar AS, maka potensi devisa bisa mencapai 100 juta dollar AS atau Rp 1,4 triliun. Sebuah angka pemasukan yang cukup fantastis untuk satu perhelatan wisata di tanah air. Maka, seiring berubahnya zaman dan peradaban, berbagai mitologi gerhana matahari yang dulu ditakuti dan menjadi pertanda bala, kini di abad ke-21, bermetamorfosa menjadi aneka paket wisata penarik devisa dan laba.     


Selasa, 17 Desember 2013

ATMA WEDANA UNTUK SANG PIRATA

"Upacara Atma Wedana menurut Lontar Siwa Tattwa Purana ada lima rupa yaitu: Nganseng, Nyekah, Memukur, Maligia dan Ngeluwer. Semuanya memiliki makna yang sama, kalaupun ada perbedaan hanya terletak pada besar kecilnya upacara"

Foto mendiang keluarga atau leluhur yang akan diupacarakan. 
Setiap agama dan kepercayaan menuntut umatnya untuk meyakini adanya alam pasca kematian. Landasan ajaran tersebut dengan sendirinya juga menuntut kita percaya pada pemilahan jasad dengan jiwa. Antara kesementaraan dengan kekekalan. Maka, kematian pun kemudian menjadi sebuah jalan penyatuan antara yang profan dengan yang kudus.    

Kidung dinyanyikan sepanjang malam. 
Dalam konsep agama Hindu, manusia dipercaya terdiri atas jasad kasar (stula sarira) dan jasad halus atau roh (suksma sarira). Ketika kematian menjemput, suksma sarira akan menanggalkan stula sarira yang terbentuk dari lima unsur (panca mahabutha), yaitu akasa (ether), api, air, udara dan tanah.

Pergelaran tari di malam hari yang bernuansa magis. 
Upacara Ngaben (sawa wedana) atau pembakaran jenazah merupakan prosesi ritual yang bertujuan untuk mempercepat proses pengembalian ke lima unsur pembentuk jasad manusia tadi kembali menyatu dengan alam.



Menuju ke pantai untuk melakukan upacara larung. 
Sementara Ngerorasin (Atma Wedana) adalah prosesi ritual berikutnya yang bertujuan menyucikan roh pitara (leluhur) menjadi betara-betari untuk selanjutnya dilinggihkan di Pura Dadia atau pura keluarga. Roh itu kemudian menjadi Hyang Bathara atau Sang Pelindung bagi para keturunan atau sentananya. Sedangkan untuk roh orang yang belum disucikan dan belum mendapat upacara Atma Wedana dinamakan pirata.

Seorang pandita memimpin upacara larung di pantai. 
Upacara Atma Wedana umumnya dilakukan oleh satu keluarga untuk satu jenazah. Oleh karena itu, banyak keluarga—terutama yang kurang mampu—menunda pelaksanaannya sembari mengumpulkan biaya yang diperlukan karena untuk menyelenggarakannya diperlukan biaya tak sedikit. Namun, perkembangan selanjutnya memungkinkan sekelompok keluarga dalam satu desa untuk menyelenggarakan upacara pitra yadnya atau upacara terhadap leluhur itu bersama-sama. 
Para pemulung mengais sisa persembahan di pantai. 
Penyelenggaraannya diatur desa dan semua keluarga—dari kelas sosial tinggi sampai yang rendah—membayar urunan yang telah disepakati. Dengan metoda gotong royong seperti itu, praktis beban yang disandang setiap keluarga pun menjadi jauh lebih ringan. 

Sebutir kelapa yang ditulisi nama mendiang yang dilarung. 
Maka, di antara alunan ombak dan kidung aji kembang yang menghanyutkan, di antara semerbak dupa dan gemeretak bambu yang menghantar roh pitara ke alam kesucian, sebuah kewajiban keluarga telah terbayar tuntas  


Selasa, 26 November 2013

PELANGI DI CIGUGUR

Pawai Kamonesan menandai puncak acara Seren Taun.
“Walau telah menjadi festival kebudayaan berskala nasional, Seren Taun pernah mengalami episode gelap yakni ketika zaman represif Soeharto berkuasa. Selama  tujuh belas tahun pergelaran ini dilarang diselenggarakan”

Perlahan sang fajar menggeliat dari balik bahu Gunung Ciremai yang kekar. Sisa kabut masih mengambang ketika sekelompok pria dan wanita bergegas menelusuri jalan setapak menuju sebuah tempat di ketinggian sana. Membawa keranjang anyaman dari bambu berisi rupa-rupa bunga dan sayuran untuk persembahan, mereka berhenti di sebuah tanah lapang berbatu di bibir jurang Situriang. Berpuluh orang sudah ramai berkumpul di tempat itu menunggu prosesi dimulai. Selang setengah jam kemudian, ketika matahari sudah setinggi tombak, serombongan lain datang, yaitu para pemangku adat serta tokoh masyarakat yang dituakan. Setibanya di sana, mereka mulai melantunkan rangkaian pupuh serta doa sembari melemparkan bunga dan sayuran persembahan—simbol dosa dan nasib buruk tahun lalu—ke dalam dasar jurang. Sebuah rampak tarian dinamis yang mempersonifikasikan kegairahan meraih nasib yang lebih baik di tahun mendatang menyempurnakan rangkaian ritual ruwatan. Di penghujung hari itu, mereka akan kembali ke rumah masing-masing membawa semangat yang telah dinyalakan serta kegembiraan menyambut perayaan tahunan yang segera datang. 

Tari Tarawangsa, tarian magis yang yang diiringi alat
musik gesek tarawangsa dan gamelan.
Ritual ruwatan “membuang hama” menandai dimulainya acara syukuran masyarakat Cigugur yang lebih dikenal dengan nama Seren Taun. Diselenggarakan setiap tanggal 22 Rayagung, bulan terakhir dari sistem kalender Sunda atau Islam (Dzulhijjah), Seren Taun berarti serah terima dari tahun lalu menuju tahun mendatang. Dalam konteks tradisi masyarakat agraris sunda, Seren Taun merupakan wahana untuk bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian yang diperoleh tahun ini, seraya berharap tahun depan akan memperoleh hasil yang lebih baik. Seluruh kegiatan Seren Taun dipusatkan di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal, kediaman Pangeran Djatikusumah, yang didirikan tahun 1840. Festival budaya yang penuh warna ini sendiri merupakan representasi dari komunitas Cigugur—sebuah kecamatan terpencil di Jawa Barat—yang mempunyai struktur masyarakat dan kebudayaan unik. Setiap tahunnya sekitar tiga ribu orang dari lima desa akan membanjiri Cigugur untuk merayakannya. Tak hanya di Cigugur sesungguhnya ritual Seren Taun juga diselenggarakan di beberapa tempat di Jawa Barat seperti di Desa Ciptagelar Sukabumi, Desa Pasir Eurih Bogor, Desa Kanekes Banten dan Kampung Naga Tasikmalaya. Namun yang paling dikenal dan dinantikan karena kemeriahan acaranya adalah Seren Taun di Cigugur. Selama beberapa tahun terakhir, festival ini telah menarik para wisatawan, pengamat serta komunitas kebudayaan dari seluruh Indonesia untuk datang dan berpartisipasi. Seperti misalnya komunitas Dayak Indramayu dan Baduy Banten yang selalu datang dalam rombongan besar setiap tahun lengkap dengan membawa berbagai persembahan. Selain dihadiri berbagai komunitas kebudayaan, beberapa sekolah menengah internasional di Jakarta pun memanfaatkan acara itu sebagai ajang study tour para siswanya.

Setiap tahun komunitas Dayak Hindu Budha Bumi Segandu
Indramayu hadir dengan rombongan besar. 
Meski telah menjadi festival kebudayaan berskala nasional, namun Seren Taun pernah mengalami periode gelap yakni ketika zaman represif Soeharto berkuasa. Selama  tujuh belas tahun pergelaran ini dilarang diselenggarakan karena dianggap mengandung unsur ajaran lama masyarakat sunda yaitu Sunda Wiwitan (Sunda Permulaan/Sunda Asli). Pada awal abad ke-19, seorang pangeran dari Cigugur dikenal dengan nama Madrais menyebarkan sebuah ajaran baru yang didasari oleh kepercayaan primitif masyarakat agraris Jawa Barat. Lahir sebagai seorang muslim, Madrais merangkum berbagai agama dan kepercayaan masyarakat ke dalam filosofi baru miliknya. Salah satu contohnya adalah mengakui eksistensi Nabi Muhammad tetapi menafikan Alquran, mengakui batari kesuburan Dewi Sri namun mengingkari sistem kepercayaan politeisme. Dalam prakteknya, Sunda Wiwitan mengombinasikan berbagai ajaran agama yang dikenal di dunia dengan kebudayaan asli masyarakat Sunda. Tercatat lebih dari dua ribu pengikut Sunda Wiwitan tinggal Cigugur.                                                   

Djatikusumah, cucu pangeran Madrais, menghidupkan
kembali acara Seren Taun di Cigugur. 
Sosok Djatikusumah, dipercaya sebagai cucu Pangeran Madrais, tak bisa dilepaskan dari komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur. Ia berpengaruh besar dalam menghidupkan kembali acara Seren Taun—setelah tujuh belas tahun dilarang—dengan membangun aula dan taman di atas tanah seluas tujuh ribu meter persegi sebagai arena festival. Tak hanya nilai spiritualisme yang ia coba tanamkan lewat festival ini namun juga sisi pragmatisme, ia ingin memperkenalkan komunitas Sunda Wiwitan kepada masyarakat nasional dan internasional. “Saya ingin menunjukkan betapa beragamnya budaya kami, betapa toleransinya kami, betapa ini bisa menjadi sebuah model bagi masyarakat Indonesia dan dunia,” jelasnya. Sudah sejak lama komunitas Sunda Wiwitan menjadi kelompok marjinal yang tersisihkan di negara yang konon mengagungkan demokrasi dan ke-bhineka tunggal ika-an. Secara administrasi kependudukan,  tidak mungkin bagi seorang penganut Sunda Wiwitan mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), surat nikah atau pelayanan publik—yang juga berlaku untuk aliran kepercayaan lainnya. Meski sejak tahun 1999, pemerintah mulai mengakui berbagai aliran kepercayaan dan menghapus diskriminasi administratif, namun perjuangan belumlah berakhir karena kenyataan di lapangan berkata lain. Berbagai kendala dan kesulitan masih mereka temui dalam memperoleh layanan publik dan perizinan. Upaya lobi telah dilakukan oleh komunitas Sunda Wiwitan bersama aliran kepercayaan lainnya untuk mendukung lahirnya sebuah undang-undang yang menjamin hak atas kebebasan berekspresi dan berkebudayaan. Atas dasar  itu maka tema sentral yang diusung Seren Taun setiap tahunnya adalah demokrasi dan kebebasan berekspresi.

Atraksi Angklung Buncis dari Cigugur memeriahkan pawai
puncak acara festival Seren Taun. 
Pasca ritual ruwatan, setiap pojok dan tempat dibersihkan dari segala energi negatif dan nasib sial tahun lalu, maka festival pun siap digelar. Dalam tiga hari ke depan Cigugur pun akan meriah oleh musik, tari dan upacara ritual. Damar Sewu atau menyalakan seribu obor yang dimulai dari halaman pendopo Paseban Tri Panca Tunggal menjadi helaran budaya yang mengawali rangkaian upacara adat Seren Taun Cigugur. Dilanjutkan dengan acara Kaulinan Barudak yaitu atraksi berbagai permainan tradisional anak-anak yang hampir punah. Pada malam berikutnya sebuah pertunjukan tari unik beraroma mistis menyemarakkan acara. Wangi dupa menebar berbarengan dengan lantunan doa Sunda Wiwitan membuka pertunjukan. Diiringi suara gesekan alat musik tarawangsa yang menyayat-nyayat para penari mulai melenggak-lenggok dalam arah berputar searah jarum jam. Salah seorang di antaranya membawa kalungan bunga yang pada gilirannya nanti akan dikalungkan di leher seorang penonton. Seperti dihipnotis,  penonton itu kemudian akan ‘terseret’ masuk ke dalam arena dan  mengikuti gerak tari layaknya penari yang telah mahir. Acara lainnya yang tak kalah menarik adalah misa sore Katholik. Unik, selain karena misa dilaksanakan dengan bahasa sunda, para jemaat yang datang pun semuanya berpakaian tradisional sunda. Dalam semangat bersyukur, berbagai jenis buah dan palawija hasil bumi dipajang di panggung altar dan ruangan misa berbaur dengan simbol-simbol Trinitas.

Pawai berakhir di aula Paseban Tri Panca Tunggal. 
Hari terakhir adalah parade pelangi penuh warna. Mengenakan berbagai macam pakaian adat warna-warni, ratusan orang secara berkelompok beriringan di jalan membawa berbagai macam barang persembahan dalam keranjang berisi bunga, buah, kue, warna-warni bendera hingga patung burung raksasa. Parade terbagi dalam dua kelompok besar yang datang dari arah berlawanan. Keduanya akan bertemu di satu titik di taman dan aula yang menjadi episentrum acara. Hingar bingar musik dan tari ditingkahi akrobat angklung menyemarakkan parade. Setelah seluruh rombongan memasuki taman, disambung beberapa buah kata sambutan dan doa dari para pemangku adat, tiba-tiba dentuman suara puluhan halu (alat penumbuk padi) beradu dengan lisung (wadah penampung) memenuhi seluruh penjuru. Prosesi ngajayak (menyerahkan padi untuk ditumbuk) yang menjadi penanda puncak acara festival dimulai—dilakukan secara maraton oleh ratusan peserta dan  masyarakat yang hadir di sana. Di dalam banguan bernama saung lisung mereka berbaris mengular menunggu giliran. Jumlah padi yang ditumbuk sebanyak 22 kuintal—20 kuintal akan dibagikan kembali kepada masyarakat dan sisanya digunakan sebagai benih— adalah representasi dari tanggal puncak acara festival yaitu 22 Rayagung.

Prosesi Ngajayak atau menumbuk padi menjadi gong dari
puncak acara festival Seren Taun.
Matahari mulai melangkah ke arah barat ketika riuh rendah alunan bunyi halu perlahan senyap. Satu demi satu para peserta dan penduduk meninggalkan taman dengan membawa setangkup harapan akan nasib dan peruntungan yang lebih baik di tahun depan. Mata acara yang tersisa tinggal pagelaran wayang golek di malam hari. Hening dan lengang memenuhi aula ketika para tamu mulai berpamitan disertai ucapan terima kasih kepada tuan rumah yang telah menjamu mereka secara tulus bersahaja. Barisan bus yang membawa ratusan peserta satu per satu mulai meninggalkan Padepokan Paseban Tri Panca Tunggal, namun kehangatan persahabatan dan toleransi yang ditunjukkan masyarakat Cigugur akan tetap tinggal dan berdegup di sana 


Rabu, 03 Juli 2013

MENENGOK SANG MASKOT DI PULAU KOTOK

Elang Bondol, maskot DKI Jakarta yang berada
di ambang kepunahan.
"Di Pulau Kotok, Anda tak hanya akan menikmati panorama pantai dan bawah laut yang indah tapi juga melihat konservasi elang bondol yang menjadi maskot kota Jakarta" 

Ke mana Anda biasanya berlibur? Ke tempat sejuk dengan lansekap pegunungan? Atau ke tempat panas dengan panorama laut dan pantai? Untuk pilihan pertama Puncak adalah salah satunya karena relatif dekat dan murah. Sedang untuk yang kedua, bila kocek cukup tebal, pilihannya adalah Bali. Tapi bila kantong Anda ‘sedang-sedang saja’ alternatifnya adalah Anyer atau Pulau Seribu. Anyer berjarak cukup jauh dari Jakarta, sekitar 160 kilometer, dengan waktu tempuh lebih dari tiga jam menggunakan mobil atau motor. Sedang Pulau Seribu adalah kawasan wisata yang jaraknya sangat dekat dengan Jakarta. Untuk mencapainya bisa melalui pelabuhan ikan Muara Angke, Kali Adem atau dermaga Marina Ancol dengan berbagai pilihan kapal, mulai dari kapal tradisional, speedboat hingga yacht. Tiket kapal bervariasi dari harga Rp 30 ribu hingga Rp 200 ribu per orang sekali jalan. Tinggal Anda yang memutuskan menurut pertimbangan waktu tempuh, kenyamanan dan sudah tentu kapasitas kantong.   

Di kandang ini Elang Bondol masuk dalam tahap
akhir pelepasliaran. 
Kepulauan Seribu adalah gugusan pulau yang terhampar di Teluk Jakarta—secara administratif merupakan salah satu wilayah kecamatan di Kotamadya Jakarta Utara. Terdiri dari empat kelurahan yaitu Pulau Untung Jawa, Pulau Tidung, Pulau Panggang dan Pulau Kelapa. Selain sebagai permukiman penduduk, lebih dari 100 pulau yang tersebar diperuntukkan sebagai tempat rekreasi dan wisata, cagar alam, penghijauan, perikanan, penelitian, taman arkeologi, perkemahan, olahraga serta rambu lalu lintas laut. Lantas, wisata apa yang ditawarkan kawasan pulau itu untuk para pelancongnya? Jawabannya adalah banyak. Mulai dari sekedar memanjakan mata dan rasa dengan panorama laut serta pantai, memancing, snorkling, menyelam, selancar angin, berenang atau hanya berjemur di terik matahari pagi sambil membaca novel dan menyeruput secangkir kopi. Pendek kata, kita bisa melakukan apa saja yang diinginkan untuk melepaskan kepenatan dan mengembalikan gairah hidup. Keelokan Kepulauan Seribu membuat mantan Presiden RI Soekarno dan Soeharto selalu menyempatkan diri berkunjung ke sana. Soekarno kerap beristirahan di Pulau Ayer dan mengajak para tamu negara seperti mantan presiden Yugoslavia Joseph Tito dan mantan presiden Birma (Myanmar) U Nu. Bahkan menurut cerita penduduk setempat, konon Pulau Kelapa pernah menjadi tempat anjangsana para raja-raja Sunda Pajajaran di masa silam.
Burung hasil sitaan dari berbagai tempat di Jakarta
ditempatkan di kandang karantina. 
Dari sekian banyak pulau di Kepulauan Seribu yang menawarkan ekowisata bahari, Pulau Kotok Besar menawarkan sesuatu yang sedikit berbeda—berjarak 50 kilometer dari dermaga Marina, Ancol, dengan waktu tempuh sekitar 90 menit menggunakan speedboat. Di sana, Anda tak hanya bisa menikmati panorama pantai dan keindahan dunia bawah laut dengan beragam jenis ikan, anemon dan terumbu karang yang memesona, tapi juga bisa melihat pusat rehabilitasi elang bondol (haliastur indus). Selain salak condet, elang bondol adalah maskot ibu kota Jakarta yang keberadaannya sudah diambang kepunahan. Meski sudah dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, namun perburuan terhadap burung yang mampu terbang hingga ketinggian 1500 meter ini tetap berlangsung bahkan di wilayah Taman Nasional Kepulauan Seribu. Di kawasan Jakarta, elang ini sudah dikategorikan punah dan di Kepulauan Seribu sendiri hanya tersisa tak lebih dari 30 ekor. Padahal sekitar 30 tahun lalu jumlahnya masih ribuan. Namun merosotnya jumlah elang bondol secara drastis tak hanya disebabkan oleh perburuan saja tetapi juga faktor gangguan ekosistem yang disebabkan oleh pencemaran sampah yang mencapai belasan ribu meter kubik setiap hari dari 13 sungai di Jakarta. Akibatnya jumlah ikan yang menjadi makanan utama elang bondol semakin menipis.

Sekitar 40 ekor Elang Bondol telah
dilepasliarkan di Kepulauan Seribu.
Sebuah gerbang dengan papan bergambar elang bondol terbang bertuliskan “BIARKAN MEREKA HIDUP DI ALAM BEBAS” menyambut kita memasuki Pulau Kotok Besar. Cicitan mereka yang melengking seperti mengucapkan selamat datang kepada para pengunjung sejak di dermaga. Ada beberapa kandang rehabilitasi berukuran sekitar 25 meter persegi di sana. Diperuntukkan bagi elang bondol yang masih dalam perawatan setelah disita petugas dari para pedagang, kolektor atau penyelundup. Pasca penyitaan biasanya mereka dalam kondisi mengenaskan, dengan beberapa luka di bagian tubuh tertentu, bahkan ada yang tulang sayapnya sengaja dipatahkan supaya tak bisa terbang. Selain itu naluri berburu mereka juga sudah hilang karena terbiasa diberi makan manusia. Yang paling menarik perhatian adalah sebuah kandang besar di pesisir pantai berukuran kira-kira 280 meter persegi dengan bagian bawahnya terendam air laut. Burung-burung di kandang ini masuk dalam program akhir pelepasliaran karena sudah dilatih terbang dan menyambar ikan hidup di permukaan air. Sejak berdiri tahun 2004, pusat rehabilitasi dan pelepasliaran elang bondol di Pulau Kotok Besar, kerjasama antara Jakarta Animal Aid network dan Taman Nasional Kepulauan Seribu, telah merawat sekitar 62 ekor elang bondol dengan 40 ekor di antaranya sudah dilepasliarkan—yang menggembirakan, beberapa di antaranya ada yang membuat sarang di sekitar pulau.

Tanpa upaya konservasi serius nasbinya akan semakin buram. 
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu merupakan habitat alami bagi bermacam-macam jenis satwa pemangsa, terutama jenis burung yang makanan utamanya adalah ikan. Ada sekitar 59 jenis burung yang hidup di kawasan itu di antaranya pecuk ular, raja udang biru kecil, cekakak, cangak biru, cangak abu, kuntul perak kecil bluwok dan lainnya. Bahkan satu dari ratusan pulau yang ada dinamakan Pulau Elang (kini Pulau Pramuka), karena dulu merupakan habitat alami bagi elang bondol. Namun, seiring dengan perkembangan penduduk yang kian membludak, keberadaannya pun semakin sulit ditemui di sana